Selasa, 04 Mei 2010

Pangeran Jepara


TELADAN PANGERAN JAWA
(Raden Mas Panji Sosrokartono)
Oleh : M. Ahiq Taufiqurrahman
  
"Murid, gurune pribadi. Guru, muride pribadi. Pamulangane, sengsarane sesami. Ganjarane, ayu lan arume sesami."Ungkapan tersebut mungkin terasa asing bagi kebanyakan dari kita. Ungkapan tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak ungkapan dari Pangeran Jawa asal Jepara yaitu Raden Mas Panji Sosrokartono. Ungkapan tersebut berarti bahwa"Murid gurunya diri pribadi. Guru, muridnya diri pribadi. Tempat belajarnya/pelajarannya, penderitaan sesama. Balasannya, kebaikan dan keharuman sesama."Maksudnya adalah dalam tiap diri seseorang terdapat Guru dan diri kita sendiri adalah murid, yang berarti bahwa segala ilmu berasal dari Tuhan dan Guru hanya sebagai perantara.
Sebelum kita meneladani untaian-untaian kata dari Raden Mas Panji Sosrokartono, sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu “Siapakah Raden Mas Panji Sosrokartono?” Raden Mas Panji Sosrokartono merupakan kakak merupakan kakak dari R.A. Kartini yaitu anak dari bupati Jepara pada saat itu Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dengan Mas Ajeng Ngasirah. R.M.P. Sosrokartono lahir pada 10 april 1877 di Palengkerep, mayong dan selisih hanya 2 tahun dengan adiknya R.A. Kartini. Beliau sejak kecil sudah mempunyai keistimewaan, cerdas dan mempunyai keistimewaan membaca masa depan.
Latar belakang pendidikannya adalah dari Eropesche Lagere School di Jepara, kemudian melanjutkan pendidikannya ke H.B.S. di Semarang. Pada tahun 1898 meneruskan sekolahnya ke negeri Belanda. Mula-mula masuk di sekolah Teknik Tinggi di Leiden, tetapi merasa tidak cocok, sehingga pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur. Beliau merupakan mahasiswa Indonesia pertama yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda, yang pada urutannya disusul oleh putera-putera Indonesia lainnya. Dengan menggenggam gelar Docterandus in de Oostersche Talen dari Perguruan Tinggi Leiden, beliau mengembara ke seluruh Eropa, menjelajahi berbagai pekerjaan.
Dalam berbagai mutiara-mutiara kata beliau dapat kita terapkan dalam kehidupan kita walau beliau hidup jauh dari masa kita. Diantaranya Trimah Mawi Pasrah, Digdaya Tanpa Aji, Kanthong Bolong dan masih banyak lagi. Diantara mutiara-mutiara beliau yang pertama adalah “Trimah mawi pasrah. Suwung pamrih, tebih ajrih.Langgeng tan ana susah, tan ana seneng. Antheng mantheng sugeng jeneng.” Yaitu “Menerima dengan pasrah. Tiada pamrih, jauh dari takut. Abadi tiada duka, tiada suka. Tenang memusat, bahagia bertakhta.” Konsep "trimah mawi Pasrah", juga diperjelas Raden Mas Panji Sosrokartono dengan apa yang pernah beliau katakan yaitu:
"Ikhlas marang apa sing wes kelakon.Trimah apa kang dilakoni.Pasrah marang apa bakal ana."Artinya, "Ikhlas terhadap apa yang telah terjadi. Menerima apa yang dijalani. Pasrah terhadap apa yang akan ada." Apa yang telah terjadi, biarlah terjadi, karena kepasrahan akan membawa keridhaan, dan keridhaan akan membawa keikhlasan, dan itulah sabar, sebuah sifat yang sangat disukai oleh Tuhan. Bahwa sesungguhnya  manusia hanya dapat berusaha, sedangkan Tuhanlah yang menentukan segalanya. Oleh karena itu, janganlah terlalu menyesali nasib, karena dibalik derita ada bahagia, dibalik kesusahan ada kemudahan. Yang pasrah akan mendapat kemudahan, yang ridha akan mendapatkan ganti, yang sabar akan mendapatkan kemuliaan dan yang ikhlas akan mendapat ketenangan dan kebahagiaan hati.
Dalam sebuah pekerjaan atau berbuatan hendaknya ada perenungan seperti mutiara R.M.P. Sosrokartono “Catur Murti “. Catur murti merupakan gabungan dari dua kata yakni catur yang berarti empat dan murti yang berarti penjelmaan atau pewujudan. Jadi Catur murti merupakan empat yang menjelma jadi satu, yaitu bersatunya empat hal yakni yaitu pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan. Berawal dari sebuah keinginan atau dorongan yang memunculkan sebuah pemikiran, perkataan dan yang terakhir yakni perbuatan. Semua tergantung pikiran kita, semisal kita memikirkan sebuah hal yang baik, maka perkataan kita akan menuju pada hal baik dan perbuatan kita juga akan mengarah pada hal yang baik. Demikian juga jika pikiran kita mengarah pada hal yang buruk maka perkataan dan perbuatan kita akan megarah pada hal yang buruk.
Dengan demikian, Catur Murti itu merupakan kesatuan yang tidak boleh dipisahkan. Selain itu, Catur Murti bukan hanya sekedar dihafalkan, tapi harus dihayati dan diamalkan. Berlatih Catur murti tanpa berhenti, baru ada manfaatnya. Sehingga menyatu dengan jiwa kita, sehingga kita terbiasakan untuk berpikir benar, berperasaan benar, berkata benar dan berbuat benar.

Padhang Ing Petheng
" ... Wosipun inggih punika ngupadosi padhang ing peteng; seneng ing sengsara, tunggaling sewu yuta ... ."Artinya "Yang jelas adalah mencari terang di dalam gelap; senang dalam kesengsaraan, ribuan juta contohnya."
Apa saja yang ada di dunia ini selalu ada dualisme atau berpasangan, seperti padhang-peteng; seneng-sengsara; sehat-sakit; hujan-panas dan lain sebagainya Demikianlah yang namanya kehidupan. Gelap selamanya itu tidak ada. Siang  terus juga tidak ada. Senang terus itu juga tidak ada. Sengsara terus itupun tidak ada. Oleh karena itu, yang bertentangan itu dibutuhkan dalam kehidupan ini. Dengan adanya panjang, kita tahu pendek; dengan adanya sakit, kita bisa merasakan sehat. Dengan mengetahui baik, maka kita tahu apa itu buruk.
Senang dan sengsara harus diterima seperti apa adanya, karena kedua-duanya membawa manfaat dan didalamnya ada hikmah yang tersembunyi. Janganlah kita terikat atau terbelenggu oleh senang dan susah. Jika kesengsaraan datang, terimalah. Jika kesenangan datang, sambutlah supaya hidup ini dapat dijalani dengan tenang. Di manapun anda temukan kegelapan, maka terangilah. Di manapun anda temukan kesengsaraan, maka berilah kesenangan. Janganlah berhenti melakukan tugas itu, karena berjuta-juta yang membutuhkan cahaya terang dan sinar kebahagiaan.
Digdaya Tanpa Aji
“Ajinipun inggih boten sanes namung aji tekad; ilmunipun ilmu pasrah; rapalipun adilipun Gusti.”Artinya yaitu “Ajiannya tidak lain hanyalah ajian tekad, ilmunya ilmu pasrah, manteranya keadlan Tuhan.”
Perbuatan taat dan meninggalkan maksiat itulah sumber energi yang dapat membuat seseorang sakti mandraguna, disamping kemampuan diri mengekang gejolak syahwat dan dari perintah nafsu yang buruk.
Rumusan beliau “Digdaya tanpa Aji” ada pada tiga tahapan, yaitu :
Tekad : sifat yang merujuk pada semangat dan keberanian diri dalam menghadapi segala masalah, seperti rekayasa hidup, fitnah dan bujukan dunia. Tekad ada karena ada niat, sementara segala sesuatu itu tergantung pada niatnya. Jika niatnya itu baik, maka baiklah jadinya. Selain itu, dengan tekad manusia dapat menyelesaikan tugas-tugasnya.
Pasrah : Ilmu pasrah dapat juga disebut ilmu tawakal. Memasrahkan diri sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa. Ilmu tawakal ini bisa diperoleh dengan menanamkan pemahaman dalam diri bahwa tak ada kuasa dan daya selain kuasa dan daya Tuhan Yang Maha Agung. Hidup dan mati itu urusan Tuhan, sukses dan gagal atas kehendak Tuhan. Intinya, menyerahkan permasalahan hidup ini kepada Tuhan, karena Dialah sebaik-baiknya Wakil. Pasrahkan jiwa dan raga kepada-Nya; Dibalik tawakkal ada keselamatan, karena ketika manusia telah menyerahkan hidup-matinya, segala urusannya kepada Yang Maha Esa, maka Dialah yang akan melindungi dan menyelamatkannya dari bahaya dan bencana.
Keadilan :Keadilan disini adalah lafal, kata/tanda yang disandarkan kepada Tuhan. Keadilan ini sulit didapat dan sulit dipraktekkan, kaena keadilan adalah puncak dari kebaikan. Ketika manusia tak dapat berbuat adil, maka Tuhanlah yang akan memberikan keadilan. Keadilan Tuhan ini sangat menakutkan, karena Yang Maha Adil itu takkan memandang siapa yang akan diadili, sehingga keadilan benar-benar ditegakkan.Ketika keadilan-Nya telah berbicara, maka kebenaranlah yang ada. Ketika keadilan Tuhan telah menjadi ucapan seseorang dalam denyut kehidupannya, maka kebenaran dan kebaikanlah yang diperolehnya.

   Banyak sekali yang dapat kita teladani dari R.M.P Sosrokartono, bagaimana seorang anak jawa mampu mengimbangi keahlian intelektual bangsa eropa. Diantara Filsafatnya Sinau maca, sinau maos mawi raos ( belajar membaca dengan cermin, belajar membaca dengan rasa). Arti dari filsafat tersebut adalah bahwa hati kita juga berfungsi sebagai cermin untuk memantulkan perasaan orang lain, sedangkan belajar membaca menggunakan rasa adalah belajar untuk menemukan makna kehidupan yang lebih luas.

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com modif by : nuri